Sinopsis
Raya Putri, mahasiswa Sastra Indonesia di sebuah universitas ternama di Yogyakarta, selalu merasa hidupnya lengkap dengan kehadiran Dion Mahendra, sahabatnya sejak hari pertama kuliah. Bersama Dion, segalanya terasa ringan: belajar di perpustakaan, makan bakmi Jawa di angkringan, hingga larut dalam diskusi panjang tentang mimpi-mimpi masa depan. Bagi Raya, Dion adalah definisi sahabat sejati— seseorang yang selalu bisa diandalkan, kapan saja, di mana saja. Namun, suatu hari Dion memperkenalkan Fitri, seorang mahasiswi cantik dari Fakultas Kedokteran yang berhasil merebut perhatiannya. Semula, Raya mengira ia hanya merasa canggung melihat sahabatnya jatuh cinta. Tapi perlahan, ia menyadari bahwa rasa di dadanya tak hanya sekadar canggung—ada cemburu yang menyesakkan, ada kehilangan yang tak bisa didefinisikan. Rasa itu tumbuh, mengakar, dan menuntut pengakuan. Sementara Dion makin sibuk dengan hubungannya bersama Fitri, kebersamaan mereka yang dulu lekat mulai tergerus waktu. Raya mencoba mengabaikan perasaannya, meyakinkan diri bahwa sahabat tetaplah sahabat. Namun, Rani—teman curhat setianya—melihat kegundahan di matanya dan memaksa Raya untuk jujur pada dirinya sendiri. Ketika Dion mengumumkan rencana lamaran dengan Fitri, Raya merasa dunianya runtuh. Ia terjebak di antara dua pilihan: mengakui perasaannya yang terlambat atau melepas Dion demi kebahagiaannya sendiri. Dalam keputusasaan, Raya memilih pergi—menjauhkan diri dari Dion, dan menerima tawaran magang di luar kota. Namun, di saat yang sama, Dion mulai mempertanyakan kebahagiaannya sendiri. Ia merindukan tawa Raya, obrolan ringan mereka di angkringan, dan pelukan sahabat yang selalu hadir dalam senang dan sedih. Perlahan, Dion menyadari bahwa Fitri bukanlah rumah yang ia cari—Raya lah yang sejak awal menjadi rumahnya. Di tengah hujan malam Yogyakarta, Dion mengejar Raya sebelum ia berangkat. Dengan napas terbata, Dion mengakui semua yang tak pernah sempat ia katakan. Bahwa bagi Dion, sahabat terbaiknya juga adalah perempuan yang dicintainya sejak lama—hanya saja, ia terlalu takut untuk mengakuinya. Raya berdiri di antara rasa bahagia dan takut. Menerima Dion berarti mengubah segalanya—mereka tak lagi hanya sahabat, mereka akan jadi sesuatu yang lebih besar. Namun, ia belajar bahwa mencintai berarti juga berani mengambil risiko. Dengan langkah gemetar, Raya akhirnya membuka hatinya. Novel ini menutup kisah mereka dengan kehangatan angkringan malam Jogja, di mana sahabat menjadi kekasih, dan kekasih menjadi sahabat seumur hidup. "Sahabatku, Kekasihku" bukan hanya tentang cinta yang tumbuh di antara dua hati, tapi juga tentang keberanian untuk jujur pada diri sendiri, dan tentang bagaimana cinta sejati kadang muncul dari persahabatan yang tulus.